Sabtu, 05 November 2011

intropeksi diri (kick andy)

,
Instropeksi
kick andySalah satu komentar yang saya baca di website ini sempat membuat saya merenung. Komentar itu mengatakan saya kurang bisa berempati pada nasib orang kecil karena saya tidak pernah merasakan bagaimana menjadi orang susah. Saya tidak tahu dalam konteks apa saya "dituduh" seperti itu. Kata orang, don’t judge a book by it’s cover. Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Saya dulu termasuk yang sering menilai orang dari tampilan luarnya.
Saya terkesan pada sebuah cerita Tiongkok kuno. Alkisah, seorang saudagar kaya kehilangan sekeping uang logam. Dia curiga uang itu dicuri anak tetangga yang menurut dia lagak dan lagunya mirip pencuri. Saat sedang bercuriga seperti itu, sang anak lewat dan tersenyum padanya. "Lihat,
senyum itu khas senyum seorang pencuri. Lagak lagunya juga," umpat si saudagar dalam hati. Muak betul dia melihat anak tetangga tersebut. ,/p>
Namun ketika sang saudagar berbalik, tiba-tiba dari sakunya jatuh sekeping uang. "Ups, ternyata terselip di saku," ujarnya dalam hati. Pada saat bersamaan, sang anak lewat lagi dan menunduk hormat pada sang saudagar. "Ah, kalau dilihat dari senyumnya, tampaknya dia anak yang baik dan hormat pada orangtua. Lagak lagunya juga santun," ujarnya dalam hati. Kita memang sering menilai orang menurut persepsi kita. Bahkan kita sering memaksakan penilaian kita dengan mengabaikan fakta.
Suatu hari, saya menegur seorang reporter karena gagal mendapat berita yang tidak terlampau sulit. Saya menantang dia dengan mengatakan saya bisa mendapatkan berita tersebut. Apa jawabnya? "Mas Andy sih enak, naik mobil dan disupiri. Jadi gak merasakan susahnya di lapangan."
Dia tidak salah. Ketika kuliah dulu, saya juga pernah mengatakan kepada GM "Om Pasikom" Sudarta bahwa saya ingin menjadi kartunis seperti dia karena penghasilannya besar. Dia tertawa. "Jangan lihat saya sekarang. Tapi lihat bagaimana proses saya untuk bisa menjadi seperti sekarang."
Ayah saya tukang servis mesin tik, ibu penjahit. Dengan pertimbangan keuangan, saya dimasukkan sekolah teknik. Harapannya, jika tamat STM nanti saya bisa langsung bekerja.
Belum tamat STM, ayah meninggal. Saya terpaksa ikut kakak yang tinggal di Jakarta. Kami tinggal di sebuah gang sempit. Setiap hari pekerjaan rutin saya: pagi memandikan dua keponakan, menyiapkan sarapan mereka, mengantar ke sekolah, cuci baju, cuci piring, mengepel, jemput keponakan, mandi, makan siang, ke perpustakaan Soemantri Brojonegoro Kuningan, catat bahan-bahan kuliah sampai tangan pegal (tidak punya ongkos untuk fotokopi), lalu berangkat ke kampus.
Dalam seminggu saya harus bisa bertahan dengan uang Rp 5.000 di kantong. Caranya? Setiap hari saya pakai celana jins butut, sepatu butut, kaos oblong, lalu muka dibuat cuek. Kalau kondektur bus minta ongkos, pura-pura budek. Kalau kondektur naik pitam, turun di halte terdekat, pindah bus di belakangnya. Pokoknya bagaimana agar sampai kampus tanpa harus keluar ongkos. Ini namanya permainan adu nyali. Adu nyali sama kondektur dari Sumatera Utara yang sangar-sangar itu.
Di kampus, hindari teman-teman yang ngajak jajan. Kecuali kalau jelas ada yang ulang tahun dan mau nraktir. Tuhan maha adil. Dengan keterampilan membuat karikatur, setiap ada yang ulang tahun, atau saat lebaran, natalan, dan tahun baru-an selalu saja ada yang pesan kartu-kartu ucapan yang lucu-lucu. Hasilnya lumayan, terutama lebaran.
Logistik semakin kuat manakala cerpen-cerpen, kartun, dan artikel yang saya kirim ke berbagai majalah ada yang dimuat. Dari situ saya bertahan dan tidak menyusahkan kakak.
Semua pengalaman hidup itu membuat saya marah jika kepada pedagang kecil istri saya mencoba melakukan tawar-menawar hingga titik darah penghabisan. Tadinya dia bangga sebagai istri berhasil menghemat sejumlah uang belanja. Tapi, sekarang tawar menawar hanya untuk kepuasan. Setelah "menang", uang kembalian diberikan kepada si pedagang.
Saya juga senang anak dan istri sekarang bisa memahami mengapa saya cepat iba pada mereka yang susah. Sebab saya pernah berada di posisi itu. Tapi, komentar bahwa saya kurang berempati kepada orang kecil karena saya tidak pernah susah, tetap akan saya jadikan bahan introspeksi. Mungkin itulah "sampul" yang dilihat oang tentang saya.

0 komentar to “intropeksi diri (kick andy)”

Posting Komentar