Sabtu, 05 November 2011

mata hati (kick andy)

,
Mata Hati
Mata Hati Kalau ada penyesalan yang sampai sekarang masih menggangu perasaan saya, itu adalah peristiwa kematian seorang perempuan di tahun 1986. Waktu itu saya masih menjadi reporter dan penanggung jawab Halaman Kota di Harian Bisnis Indonesia, Jakarta.
Sepulang kerja, sekitar jam satu dinihari, saya naik angkot dari Salemba menuju Blok M. Tepat di halte pemberhentian Bendungan Hilir, seorang perempuan, saya taksir usianya sekitar 24 tahun, naik dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak kalut. Matanya sebentar-sebentar melihat ke jalanan gelap seakan ada yang mengejarnya. Saat mobil hendak bergerak, seorang pria melompat naik. Saya ingat ada lima penumpang saat itu. Seorang pria tua, dua pemuda, wanita tersebut, pria yang baru saja naik, dan saya.
kick andy
Wajah wanita itu tampak pucat dan ketakutan. Matanya berkali-kali melihat ke arah pria yang baru naik. Walau tanpa riasan, di keremangan malam wanita tersebut terlihat cantik. Baju yang dipakainya sederhana saja. Tapi kami semua, atau mungkin saya sendiri, bisa merasakan kegelisahan wanita itu.
Baru beberapa meter mobil berjalan, wanita tersebut tiba-tiba meminta supir untuk berhenti. Tergopoh-gopoh, setengah melompat, dia turun. Tak berapa lama pria tersebut juga melompat turun. Ada perasaan tak enak dalam diri saya. Saya bisa membaca gelagat aneh dari kejadian barusan. Hati saya berbisik agar saya ikut melompat turun dan melihat apakah dugaan saya benar.
Saya menduga wanita tersebut ketakutan dan mencoba menghindar dari pria tadi. Ada dorongan untuk menolong wanita itu. Cukup lama hati dan akal saya berdebat. Hati saya menyuruh segera turun. Akal saya menolak karena fisik sudah lelah dan mengantuk. Bukankah kalau memang wanita itu terancam dia akan berteriak minta tolong? Lusanya, ketika membuka koran Pos Kota, mata saya tertuju pada satu berita di halaman depan tentang seorang wanita muda yang mati terbunuh. Begitu melihat foto wanita yang tewas tersebut, jantung saya rasanya berhenti. Wajah itu masih lekat dalam ingatan saya. Begitu melihat tempat mayat wanita itu ditemukan tidak jauh dari Bendungan Hilir, saya segera minta kawan saya, seorang reporter yang biasa meliput di kamar jenasah RSCM, menemani saya ke sana.
Sewaktu petugas kamar mayat memperlihatkan jenasah tanpa identitas itu kepada kami, badan saya langsung menggigil. Perasaan menyesal luar biasa mengguncang nurani saya. Ah, seandainya malam itu saya turun, mungkin wanita tersebut tak harus ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Apalagi menurut dugaan polisi, sebelum dibunuh wanita itu diperkosa. Bersama teman tadi saya lalu melapor ke pos polisi Bendungan Hilir. Kepada petugas jaga saya menceritakan pengalaman saya malam itu. Juga ciri-ciri dan pakaian yang dikenakan laki-laki yang saya curigai. Tapi, apalah artinya semua itu? Perempuan itu sudah tiada.
Saya sungguh menyesal. Penyesalan yang terlambat. Teman saya menghibur. Menurut dia saya tidak perlu sampai harus menyesal seperti itu. Kehidupan di Jakarta, katanya, memang keras dan sangat individual. Kita tidak perlu tahu urusan orang. Begitu sebaliknya. Bahkan, katanya, banyak orang yang berniat baik justru jadi korban.
Hendak menolong orang yang kecopetan justru ditusuk hingga tewas oleh para pencopet. Penjelasan teman yang sudah lebih lama hidup di Jakarta itu tetap sulit saya terima. Karena itu, saya segera setuju ketika tim Kick Andy menawarkan konsep talk show yang lebih mengasah hati ketimbang akal. Sudah banyak talk show di televisi lain, juga di Metro TV, yang dibuat untuk mengasah akal. Teman-teman ingin Kick Andy lebih untuk mengasah hati.
Maka hampir semua persoalan yang kami angkat di Kick Andy lebih mengutamakan aspek kemanusiaannya. Aspek hati. Kami ingin penonton memahami topik yang dibahas dengan hati, bukan dengan akal. Sebab 21 tahun lalu, saya menutup mata hati saya., dan sampai detik ini saya masih merasakan penyesalan yang amat dalam. Seandainya saja malam itu saya lebih menggunakan mata hati. Ah, seandainya saja.

0 komentar to “mata hati (kick andy)”

Posting Komentar