Sabtu, 05 November 2011

menghakimi (kick andy

,
Menghakimi
Sepintas dia tampak tidak berbeda dengan remaja seusianya. Gaya berpakaiannya pun khas anak baru gede. Celana jins biru agak belel dan t-shirt berbalut jaket denim serta sepatu sport warna cerah. Dengan ransel di punggungnya, tidak seoprang pun akan menyangka Marleen, begitu saja kita sebut namanya, ternyata seorang ibu dari bayi mungil yang lucu. Kami menjemput Marleen di sekolahnya, sebuah SMA di sebuah sudut Chelsea, di Boston. Ada 12 anak yang harus dijemput siang itu. Para remaja itu merupakan “anak-anak salah asuhan” yang ditampung di Rumah Singgah Roca di Chelsea. Mereka, para remaja ini, merupakan anak-anak yang pernah terperosok pada kehidupan jalanan yang keras dan penuh jebakan.

kick andyKetika mengikuti Program Ideas Indonesia di MIT Sloan, Boston, bersama beberapa teman saya berkesempatan mengunjungi Rumah Singgah Roca yang didirikan dan dipimpin Molly Baldwin, seorang perempuan yang luar biasa. Molly sudah mengabdikan hidupnya untuk membantu anak-anak dan remaja bermasalah lebih dari 20 tahun.
Di Roca para remaja yang pernah terperangkap narkoba, seks bebas, kriminalitas antar geng, dan kekerasan seks ini ditampung dan diberi bekal untuk menapaki masa depan yang lebih baik. Selain pelatihan-pelatihan keterampilan, anak-anak yang nyaris kehilangan masa depan ini juga dikembalikan ke bangku sekolah.
Dalam usia 14 tahun Marleen melahirkan bayi dari hasil hubungan seks bebas sesama remaja. Hidup harusnya berakhir bagi Marleen jika saja tidak ada Molly dan Roca-nya yang berjuang menyelamatkan anak-anak korban keadaan semacam ini.
Kisah Marleen ini kembali memicu pergolakan bathin saya selama ini yang tidak kunjung berakhir. Pergolakan bathin yang belum menemukan jawabnya sampai sekarang. Semua bermula ketika saya bertemu seorang perempuan, ibu satu putri remaja, yang memberi saya sebuah buku sederhana berisi pengalaman hidupnya. Cerita di dalam buku inilah yang kemudian memicu pergolakan bathin tadi.
Di dalam buku tersebut Melati – sebut saja namanya begitu -- menceritakan secara gamblang pengalaman hidupnya. Pengalaman yang – menurut saya – tidak semua orang mampu mengungkapkannya. Dia memaparkan dengan sangat transparan kisah kelam hidupnya ketika terjerumus dalam hubungan di luar nikah yang kemudian melahirkan seorang anak.
Suatu ketika, Melati jatuh cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Mereka lalu menjalin hubungan “backstreet” selama beberapa tahun. Hubungan terlarang itu berujung kehamilan. Di sinilah awal persoalan. Melati bertekad mempertahankan kelahiran sang bayi, sementara sang pria tak sudi dan meninggalkan Melati. Kini, setelah dua puluh tahun berlalu, anak tersebut tumbuh dewasa dan menyadari dia lahir dari hubungan terlarang. Melati menceritakan kepada sang anak apa yang terjadi. Ibu dan anak kemudian sepakat menghadapi kenyataan tersebut dan bertekad mengarunginya bersama-sama.
Cerita mereka kemudian dibukukan. Bahkan dalam buku itu ibu dan anak mencantumkan foto-foto mereka. Sebuah keberanian luar biasa, terutama bagi sang anak yang masih memiliki jalan panjang dalam menapaki kehidupan ini.
Saya berniat mengangkat kisah mereka di Kick Andy sebagai suatu pembelajaran. Bahkan guna melengkapi perpektif tentang “anak haram”, saya meminta teman-teman di tim Kick Andy melakukan riset. Saya meminta tim Kik Andy mencari kisah tentang perempuan-perempuan korban perkosaan yang melahirkan anak dan terus membesarkan anak-anak hasil perkosaan tersebut. Tidak masalah apakah karena terpaksa atau mereka memang bertekad mempertahankan janin di dalam rahim mereka kendati janin itu tumbuh bukan atas kehendak mereka.
Pesan moral yang hendak saya sampaikan waktu itu adalah bagaimana mereka, para perempuan itu, dengan alasan masing-masing tetap merawat dan membesarkan bayi hasil hubungan yang “tidak wajar” itu walau harus menanggung malu dan derita. Termasuk bagaimana menyiapkan sang anak untuk menghadapi kehidupan di dalam masyarakat dengan stempel “anak haram”.
Tetapi, sampai saat ini pergolakan bathin saya itu belum menemukan jawabannya. Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap mereka yang menghadapi kondisi seperti Marleen, Melati, dan para perempuan korban perkosaan yang melahirkan anak itu? Sebagian dari kita mungkin akan dengan mudah menghakimi Marleen dan Melati. Dengan gampang kita akan menuduh mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang agama. Sementara bagi korban perkosaaan, sebagian dari kita mungkin bisa memaafkan. Bukankah mereka adalah “korban”? Bukankah semua itu terjadi bukan atas kehendak mereka
Untuk mereka yang mengalami kasus perkosaan, sebagian dari kita mungkin lebih menganjurkan agar mereka melakukan aborsi atas benih yang tidak mereka kehendaki itu. Apalagi jika mengingat benih tersebut milik orang jahat. Sebagian lagi mungkin berpikir sebaliknya. Siapa pun bapaknya, dan bagaimana cara janin itu terbentuk, dia adalah ciptaan Tuhan yang masih suci sehingga layak untuk dilindungi dan dijaga.
Pergolakan bathin saya lebih pada apakah orang-orang seperti Marleen dan Melati memang harus menerima penghakiman kita atas perbuatan mereka di masa lalu? Sebagian dari kita akan mengatakan setuju karena mereka memang harus menerima ganjaran atas dosa yang mereka perbuat. Sebagian mungkin mengatakan Tuhan maha pengampun. Jika Marleen dan Melati sudah bertobat atas kesalahan mereka di masa lalu, maka dosa mereka sudah diampuni. Artinya mereka juga berhak hidup normal dan diterima di masyarakat. Begitu juga anak-anak yang mereka lahirkan seharusnya kita terima dengan lapang dada.
Saya, dengan pemahaman agama yang dangkal, sering bertanya. Tuhan itu Maha Adil dan Maha Kuasa. Dengan kekuasaan-Nya, jika Dia mau, Dia tentu bisa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Termasuk dalam kasus Marleen dan Melati. Jika Tuhan mau, Dia pasti mencegah agar Marleen dan Melati tidak terjerumus dalam percintaan terlarang yang menyebabkan mereka melahirkan seorang bayi. Begitu juga jika Tuhan berkehendak, maka tidak akan lahir seorang bayi dari peristiwa perkosaan.
Sebaliknya, jika kemudian Marleen, Melati, dan para perempuan korban perkosaan akhirnya melahirkan sang bayi dengan selamat dan tumbuh sehat, adakah Tuhan punya rencana atas semua itu? Rencana yang mungkin tidak mampu dicerna dan dipahami oleh akal manusia yang terbatas? Jalan pemikiran seperti ini tentu melahirkan pro dan kontra. Itu pula yang terjadi dalam pergolakan bathin saya.
Apakah Marleen dan remaja-remaja yang melahirkan karena hubungan seks bebas itu layak mendapat penghakiman kita? Bukankah mereka juga korban dari situasi rumah tangga dan lingkungan yang tidak mendukung? Apakah Melati yang pernah “jatuh” akibat cinta buta di usianya yang muda harus menerima vonis dari kita seumur hidupnya? Bukankah manusia juga mahluk lemah yang bisa jatuh dalam dosa? Apakah pertobatan dan tekadnya untuk terus merawat dan membesarkan sang anak tidak punya nilai di mata kita?
Sepintas pertanyaan saya seakan pembenaran atas perbuatan mereka. Tapi, sejujurnya, ini memang pertanyaan yang menjadi pergolakan bathin saya yang belum tuntas. Termasuk bagaimana nasib anak-anak yang lahir dari kondisi semacam itu? Haruskah mereka disingkirkan dari pergaulan masyarakat dan menderita seumur hidup?
Jika saja mereka boleh memilih, tentu mereka ingin lahir dari hubungan yang normal, yang sesuai nilai-nilai agama dan kaidah perkawinan. Mereka juga ingin diakui dan diterima keberadaannya layaknya anak-anak yang lain. Tapi jika “takdir” menghendaki lain, haruskah kita menghakimi mereka atas perbuatan yang dilakukan orangtua mereka?

0 komentar to “menghakimi (kick andy”

Posting Komentar